Soekarno - Peletak Dasar Awal Negara Indonesia Merdeka

/ Minggu, 28 Juli 2013 /
Untuk mengisi waktu liburan yang panjang ini aku memilih untuk menghabiskan beberapa antrian buku yang telah kubeli, namun belum kubaca. Berbeda dengan waktu – waktu sebelumnya, dimana aku memilih novel sebagai pengisi waktu luang, kali ini aku lebih memilih untuk membaca Buku tentang Biografi seseorang. Alasannya simple, aku ingin berkenalan dengan mereka, dengan pemikiran hebat mereka, dengan kebiasaan extra-ordinary mereka, hingga membuat mereka bisa menjadi manusia superior di jamannya. Sebut saja, Jengis Khan, Mussolini dan Soekarno adalah tiga tokoh yang sengaja aku pilih, karena ketiganya memiliki pengaruh yang sangat besar di daerahnya dan di masanya masing – masing.
Dari cerita mengenai ketiga tokoh di atas, yang paling membuat mata terbuka adalah Biografi dari Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Sebelumnya, sejauh yang saya tahu dari cerita orang - orang tentang sosok Soekarno, bahwa beliau adalah pemimpin yang otoriter, suka main perempuan, tegas, dan pemberani, ya cukup hanya sampai di situ dan hanya di kulitnya saja. Namun, setelah membaca Biografi beliau yang berjudul “Total Bung Karno – Serpihan Sejarah yang Tercecer” karya Roso Daras. Ternyata banyak sekali nilai – nilai yang dapat kita ambil dari lembar sejarah milik beliau. Tidak heran jika masih banyak para Soekarno-is* hingga jaman sekarang.

*Soekarno-is julukan untuk para pendukung, pengikut setia, serta orang – orang yang masih yakin akan nilai – nilai yang dibawa oleh Bung Karno

Dengan membaca Buku Biografi Bung Karno, kita tidak akan hanya mengenal beliau lebih dekat, namun kita juga akan dibawa untuk mengetahui sejarah merdeka bangsa sendiri. Bangsa ini tak bebas semudah membalik telapak tangan, diperlukan perjuangan mengangkat senjata, pertumpahan darah, hingga usaha diplomasi yang begitu panjang, guna mewujudkan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Bangsa ini bukan bangsa yang kerdil di awal Kemerdekaannya. Pancasila adalah ideologi pendobrak sejarah dunia. Para pendiri bangsa lebih memilih untuk tidak menggunakan Ideologi sayap kanan (Agamis), ataupun ideologi sayap kiri (Komunis) sebagai Dasar Bernegara di NKRI. Bung Karno, mengambil sari pati dari Sabang sampai Merauke hingga berhasil menelurkan Pancasila ini. Dengan memilih untuk tidak menggunakan Ideologi asing, Indonesia menjadi Macan Asia. Indonesia kala itu mampu menghimpun Negara – negara yang baru merdeka hingga membuat gerakan baru bernama Gerakan Non-Blok Asia Afrika ditandai dengan deklarasi Dasasila Bandung. Indonesia juga begitu dikdaya di kala itu, dengan pembangunan besar – besaran guna menyambut Asian Games.

Indonesia bukanlah negara yang kerdil diawal kemerdekaannya. Mengapa ? Hal ini dikarenakan para intelektual pejuang kemerdekaan pada masanya memang memiliki kemampuan yang tidak main – main jika kita sandingkan dengan pemimpin lain di berbagai belahan dunia. Beberapa mahakarya intelektual dipersembahkan pendiri bangsa untuk negara ini. Salahsatu mahakarya yang menggebrak dunia adalah Pancasila.

Berikut adalah potongan/kutipan dari pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang menandai Lahirnya Pancasila ke dunia :
… Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara – negara itu satu sama lain ! Samakah isinya, samakah derajatnya negara – negara yang merdeka itu ? …
… Alangkah berbedanya isi itu ! Jikalau kita berkata : Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai jelimet ! Maka saya bertanya kepada tuan – tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 % dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti ini atau itu …
… Kemerdekaan, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab* itu, bahwa di seberang jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat …

*Risalah ‘Mencapai Indonesia Merdeka’

… Paduka Tuan Ketua yang Mulia ! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki ! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosophisce grondslag, atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk – muluk, Paduka Tuan Ketua yang Mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu …
… Tuan – tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia datang …
… John Reed : “Sovyet---Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin c.s.,” …
… walaupun Lenin mendirikan Sovyet dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya telah tersedia berpuluh – puluh tahun. Terlebih dulu tersedia “Weltanschauung”nya dan dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru di atas “Weltanschauung” yang sudah ada …
… Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan : Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya ? …
… Apakah itu ? Pertama – tama, Saudara – Saudara, saya bertanya : Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan ? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarya hanya untuk mengagungkan satu orang, memberikan kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan kepada satu golongan bangsawan ? Apakah maksud kita begitu ? Sudah tentu tidak ! …
… Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salahsatu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi …
… Dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan …
… Janganlah Saudara – saudara salah paham jikalau saya katakana bahwa dasar pertama buat Indonesia adalah dasar Kebangsaan. Itu bukan satu kebangsaan dalam arti sempit, tapi saya menghendaki satu nasional staat …
… menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu” perlu orang – orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu …
… Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjukkan Allah swt. Menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita ! …
… Saudara – saudara, tetapi… tetapi… menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berpaham “Indonesia Uber Alles” …
… Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan – tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulia serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa – bangsa.
Justru inilah prinsip – prinsip saya yang kedua, inilah  filosofiseli principle yang nomor dua : yang saya usulkan kepada Tuan – Tuan yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakana internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau akan adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain – lainnya
Internasionalisme tidak akan tumbuh subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak akan hidup dalam taman sarinya internasionalisme …
… Prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan ! 
Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengar prinsip itu yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip : tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka …
… Prinsip kelima hendaknya : Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan ! …
… Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat – menghormati satu sama lain …
… Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga : Sosio-nationalisme, Sosio-democratie, dan ketuhanan …
… Jikalau saya peras yang lima itu menjadi tida dan yang tida itu menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yakni perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong ! Alangkah hebatnya ! Negara Gotong royong ! …
… Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak ! Bahkan saya berkata : Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama – sama, sebagai bangsa yang bersatu – padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita – citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara – saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko --- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam – dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati -  matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama – lamanya, sampai ke akhir zaman ! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar – kobar dengan tekad “Merdeka, ‘merdeka atau mati’ ! “.

Imaji membawa raga ini serasa berada pada salahsatu tempat duduk di depan Bung Karno saat beliau menyampaikan pidatonya, saat saya membaca tulisan hasil penulisan pure dari perkataan yang diucap oleh beliau. Tiap ucapan beliau seperti sudah sangat diukur, sehingga mampu menyihir saya sebagai pembaca agar terus membaca hingga akhir kalimat dan membayangkan saya sedang dipidatoi langsung oleh beliau. Beliau tidak pernah berpidato menggunakan teks, tapi ucapan yang mengalir begitu berisi, menampakkan bahwa memang beliau telah sesak dengan berbagai asupan ilmu dan pengetahuan dari masa kecil hingga dewasanya.
Dari segala kemampuan diplomasi dan komunikasi beliau. Soekarno tetaplah manusia biasa, yang punya marah, hingga beliau pernah marah kepada kakak kandungnya sendiri, Ibu Wardoyo, yang punya sedih ketika harus berpisah dengan istrinya, Fatmawati, yang begitu tegar dihujam kritikan di detik –detik terkahir beliau di dunia.

Melihat wajah Indonesia di jaman juang kemerdekaan, pastilah tidak dapat dilepaskan dari sosok Soekarno. Pejuang kemerdekaan sejati, yang rela mati untuk ibu pertiwi, rela berjuang untuk tegaknya negara Indonesia Merdeka. Sosok yang begitu dihormati oleh dunia, dan dicintai oleh rakyatnya. Tidak dapat dipungkiri Indonesia begitu dikdaya di bawah naungan besarnya. Semoga saja, suatu saat nanti lahirlah seorang sosok pemimpin negeri yang terilhami oleh sari pati budaya bangsa Indonesia dan memimpin dengan tetap mengingat alur sejarah bagaimana Indonesia ini didirikan.


0 comments:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkomentar. Jangan lupa follow blog ini :)

About


Buff - Planet Earth

Pengikut

 
Copyright © 2010 Manuskrip , All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger