Nilai Kemanusiaan VS Kemajuan Teknologi

/ Minggu, 04 November 2012 /
Manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk sosial yang senantiasa tidak dapat berdiri sendiri dan akan selalu membutuhkan orang lain.

Tolong menolong dan gotong royong adalah ciri penduduk Indonesia yang sangat bhineka.

Saya ingin menceritakan pengalaman baru saya siang ini, dimana pengalaman ini di luar dari biasanya. Jadi hari ini saya mengujungi sebuah Yayasan untuk tuna netra. Saya lupa namanya tapi yang pasti tempatnya berada tepat di depan GOR Padjajaran Bandung. Di sana saya mengobrol bersama beberapa teman, untuk bertanya-tanya tentang sebuah acara Pengabdian Masyarakat yang ingin kami buat. Kami mengobrol untuk beberapa waktu dengan pengurus yayasan. Salah seorang pengurus adalah seorang tuna netra juga, bernama pak Juan.
Pak Juan berkata : Sekarang kalau mau jadi reader memang agak susah, iklimnya udah nggak kayak jaman saya dulu. Dulu kalau kami mendengar ada suara orang baru saja, kami langsung menghampirinya dan bertanya bisa bacain ini nggak kak dll? Jadi waktu itu kami yang lebih aktif. Kalau sekarang readernya harus deket dulu, baru mereka mau dibacain.

Kami terus berbincang dan diakhir obrolan itu, kami diberikan kesempatan untuk berkeliling asrama yang ada di sana.

Suasana asrama terasa asri dan nyaman. Taman-taman cukup terawat dan rumput begitu menghijau, manambah kesejukkan sore ini di sekitar asrama. Dari jauh saya melihat beberapa anak sedang bercanda, tertawa. Menikmati hidup mereka, walau dalam sebuah keterbatasan besar, yakni tidak bisa melihat. Di sudut lain, saya dan teman-teman saya melihat tiga orang berbeda usia duduk berdamping sedang membicarakan sesuatu. Kami berinisiatif untuk mendekat, untuk membuat suatu obrolan santai bersama mereka. Diawali dengan saling memperkenalkan diri dan seterusnya hingga obrolan ini selesai. Bukan obrolan ini yang membuat saya ingin menulis artikel ini. Namun, obrolan setelah ini.

Kami melanjutkan ayunan langkah untuk berkeliling ke sekitar asrama. Di pojok komplek asrama ini, kami menemukan empat orang remaja, dua laki-laki dan dua perempuan sedang asyik berbincang-bincang. Pengurus asrama memberitahu kami bahwa mereka adalah dua pasang remaja yang sedang terpanah busur dari peri cupit. Ya... mereka adalah dua pasang remaja yang sedang berpacaran. Di sini, mulai terbuka minset saya selama ini. Bahwa seorang tuna netra itu juga manusia biasa, punya cinta yang dapat dibagi kepada sekitarnya. Mereka hanya memiliki keterbatasan dalam hal melihat, selebihnya, mereka sama dengan kita manusia normal pada umumnya.

Kami membuka obrolan ini dengan perkenalan diri dan begitu pula sebaliknya. Salah satu dari mereka bernama Dian. Dian adalah seorang remaja berumur 15 tahun, yang pintar menulis arab walaupun dengan keterbatasan penglihatan. Selain itu ada Mei, pacar dari Dian. Mei termasuk pendiam. Tapi ingatannya kuat, terbukti dari ingatannya tentang Dian yang begitu hafal di luar kepala. Ada juga remaja putri lainnya bernama Kris. Kris ini adalah remaja yang sangat PD, begitu high-tec dan mudah bergaul. Satu lagi, bernama Tri, remaja cowok yang cool dan pendiam, pacarnya Kris.

Pengurus yayasan yang bersama kami bernama Suci, dia bertanya : Ini ada temen-temen dari ITB, mau membantu kalian. Kira-kira kalian mau nggak dibacain buku sama mereka ? (memang dari awal kami ingin membantu, sebagai reader untuk mereka)
Dian : Nggak mau...
Suci : Mereka di sini mau bantu kalian... Kira-kira kalian mau dibantu apa ?
Kris : Bikinin kami konser kak.
Suci : Ehm... ada yang lain nggak kira-kira ?
Salahsatu teman yang bersama saya adalah Bimar, dia bertanya : Kira-kira... Kenapa sih kalian nggak mau dibacain ?
Dian : Nggak usah... kan udah ada HP.
Mei : Iya... bisa denger cerita-cerita dan pelajaran dari aplikasi di HP.
Dian : Iya kak... Tinggal masukin e-booknya ntar kita bisa nge-dengerin sendiri

Nah cukup sampai di situ... Saya merasa bahwa rasa kemanusiaan seseorang menjadi terhalangi karena kemajuan teknologi itu sendiri. Sebelumnya saya kira, jika ada seorang relawan mau memberikan bantuan, maka mereka akan senantiasa menerima relawan tersebut. Tapi jaman telah bergulir dan hal tersebut menjadi jarang ditemukan, bahkan di tempat, yang didalamnya ditempati oleh orang-orang yang memiliki kekurangan, yang seharusnya membutuhkan pertolongan.

Selama ini kita menganggap kemajuan teknologi sebagai sesuatu yang positif. Di sisi lain, adanya teknologi membuat sifat individualis kita terpupuk secara tidak langsung. Sekarang, untuk menyelesaikan permasalah kita, dewasa ini kita lebih memilih memanggil teknologi, daripada memanggil orang lain untuk menolong kita. Ya tentu saja hal ini terjadi, kenapa? Karena memang, penghasil teknologi-teknologi itu adalah bangsa yang tidak dilandasi dengan tolong-menolong dan gotong royong sebagai dasar mereka.

Sadar ataupun tidak, teknologi kini telah begitu memanjakan kita dengan segala kemudahannya. Semoga saja, setelah ini kita dapat memajukan teknologi dalam negeri dan menggunakan teknologi di sekitar kita dengan lebih bijak. Semoga...

0 comments:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkomentar. Jangan lupa follow blog ini :)

About


Buff - Planet Earth

Pengikut

 
Copyright © 2010 Manuskrip , All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger